Oleh: Silwanus Sumule
Puncak Jaya – Rabu pagi, 5 Februari 2025, Mulia yang biasanya tenang berubah menjadi panggung bagi ketegangan yang tak terelakkan. Langit kelabu menggantung di atas kota, seakan menjadi saksi bisu ketika bentrokan antar kelompok massa meletus di pusat kota.
Kekerasan ini merambat seperti gelombang yang tak terbendung, merenggut nyawa, dan mengoyak ketenangan hidup masyarakat Puncak Jaya. Lebih dari sekadar angka, tragedi ini menyisakan luka mendalam di hati yang tak terlihat oleh mata.
Tiga hari berlalu, hingga 8 Februari 2025, catatan korban terus bertambah. 143 jiwa menjadi angka yang berbicara tentang penderitaan, kehilangan, dan harapan yang diuji.
BACA JUGA: Pascabentrok 2 Pendukung Paslon di Puncak Jaya, 8 Orang Dievakuasi ke Jayapura
Di antara mereka, 21 pasien dirujuk ke RSUD Dian Harapan, RSUD Abepura, dan RSUD Jayapura. Satu nyawa melayang, meninggalkan jejak duka yang tak mudah terhapus.
Sementara itu, satu pasien berjuang di ambang batas hidup, dengan luka tembus di dada akibat panah, membutuhkan penanganan medis lanjutan yang hanya tersedia di rumah sakit di Makassar.
Sebuah perjalanan panjang untuk menyelamatkan satu nyawa di tengah keterbatasan fasilitas medis Papua Tengah.
Layanan Kesehatan dalam Cengkeraman Krisis
Konflik ini bukan sekadar tentang bentrokan di jalanan. Ini adalah cerita tentang bagaimana layanan kesehatan di Mulia dan RSUD Nabire dipaksa melampaui batas kemampuannya.
RSUD Mulia, yang biasanya menjadi tempat berlindung bagi yang sakit, kini harus menghadapi gelombang pasien yang melebihi kapasitasnya.
Tenaga medis berjibaku, melawan kelelahan dan keterbatasan, sementara persediaan medis dan obat-obatan perlahan menipis, seperti pasir yang mengalir di sela-sela jari. Di tengah semua ini, keselamatan para tenaga kesehatan pun berada di ujung tanduk.
Korban Kerusuhan yang Memerlukan Rujukan Medis ke Luar Papua Tengah
Di antara mereka yang terluka, ada yang membawa beban lebih berat. Cedera serius yang melampaui kemampuan fasilitas kesehatan setempat menjadi bukti bahwa sistem kita rapuh saat diuji oleh tragedi.
BACA JUGA: Saling Serang Antarpendung Paslon di Puncak Jaya, 1 Warga Tewas
RSUD Mulia dan RSUD Nabire tak memiliki dokter spesialis atau peralatan medis yang cukup untuk menangani luka tembus di dada.
Oleh karena itu, mereka yang berada di ambang hidup dan mati harus dirujuk ke RSUD Jayapura, RSUD Mimika, RSUD Nabire, atau bahkan ke rumah sakit di Makassar. Sebuah perjalanan panjang untuk mencari kesempatan kedua dalam hidup.
Krisis Pembiayaan Rujukan: Ujian bagi Solidaritas Kemanusiaan
Di balik angka-angka dan nama-nama, ada tantangan yang menggugah nurani kita. BPJS Kesehatan, dalam kerangka regulasinya, tidak menanggung biaya evakuasi dan perawatan lanjutan karena tragedi ini dikategorikan sebagai “Konflik Sosial.”
Ironis, mengingat Papua Tengah telah mencapai status “Universal Health Coverage” dan selalu memenuhi kewajiban pembayaran kesehatan tanpa cela. Namun, kenyataan berkata lain ketika aturan bertemu dengan kemanusiaan.
Pemerintah Provinsi Papua Tengah berdiri di garis depan, memastikan bahwa biaya rujukan ke pusat-pusat rujukan terbaik di Indonesia akan ditanggung.
Prinsip Salus populi suprema lex est — “Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi” — menjadi pijakan moral di tengah krisis ini.
Namun, tetap saja, perhatian khusus dari Kementerian Kesehatan sebagai penanggung jawab utama layanan kesehatan di Indonesia sangatlah diperlukan, terutama untuk pembiayaan perawatan rujukan medis yang mendesak dan tak tercakup oleh BPJS.
Apresiasi untuk Semua Pihak yang Menghidupi Harapan
Di tengah kelamnya situasi, ada cahaya yang tak boleh kita lupakan. Mereka yang berdiri di garis Depan – Forkopimda Pemerintah Provinsi Papua, para tokoh adat dan agama di Mulia, serta Tim Krisis Kesehatan Sub Regional Papua Tengah di Nabire — adalah wajah-wajah kemanusiaan yang bekerja tanpa lelah.
Tak lupa, penghargaan juga patut diberikan kepada Tim KO Sehat di Jayapura dan RSUD rujukan yang dengan sigap menerima pasien dari Puncak Jaya.
Kolaborasi lintas sektor ini adalah bukti bahwa di tengah badai konflik, semangat solidaritas masih menyala. Kerjasama erat antara pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat adalah jembatan yang menghubungkan kita semua dengan harapan.
Dalam situasi seperti ini, perhatian dan tindakan cepat dari semua pihak bukan hanya kewajiban, melainkan panggilan hati yang mendesak.
Menghidupi Nilai-Nilai Kemanusiaan di Tengah Krisis
Mari kita berhenti sejenak, menarik napas, dan merenung. Di balik angka-angka statistik, ada nyawa yang berharga, ada keluarga yang menanti, dan ada masa depan yang terancam pudar. Kekerasan yang melanda Puncak Jaya bukan hanya ujian bagi pemerintah atau sistem kesehatan, tetapi juga cermin bagaimana kita sebagai bangsa merespons penderitaan sesama.
Kini saatnya kita berdiri bersama, menanggalkan sekat-sekat perbedaan, dan menempatkan kemanusiaan di atas segalanya. Karena pada akhirnya, di saat seperti inilah, nilai-nilai solidaritas dan kasih sesama benar-benar diuji.
Masa depan Puncak Jaya, bahkan Papua Tengah, bergantung pada bagaimana kita memilih untuk bertindak hari ini. Di ujung semua ini, mungkin kita akan menemukan bahwa dalam setiap luka yang terbuka, ada pelajaran tentang cinta, harapan, dan kekuatan untuk terus melangkah. (*)