Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Nasional

BONGKAR Status Terpidana Petrus Ricolombus Omba di PHPU Boven Digoel

×

BONGKAR Status Terpidana Petrus Ricolombus Omba di PHPU Boven Digoel

Sebarkan artikel ini
Feri Amsari dihadirkan Pihak Termohon sebagai Ahli Pihak Termohon untuk memberi Keterangan dalam sidang Perkara Nomor 260/PHPU.BUP-XXIII/2025 Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Bupati Kab. Boven Digoel Tahun 2024, di Ruang Sidang Gedung II MK. di Ruang Sidang Gedung II MK. Kamis (13/2/2025). (Dok. Mahkamah Konstitusi)
Example 468x60
Jakarta – Kontroversi status terpidana Calon Bupati Boven Digoel Nomor Urut 3 Petrus Ricolombus Omba yang merupakan terpidana dan/atau setidaknya pernah tersangkut masalah pidana saat berstatus militer, kembali menjadi sorotan dalam Persidangan Pemeriksaan Lanjutan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Boven Digoel pada Kamis (13/2/2025).

Sidang Perkara Nomor 260/PHPU.BUP-XXIII/2025 ini berlangsung di Ruang Sidang Panel 2 MK yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Arsul Sani dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur.

Pasangan Calon Nomor Urut 4 Hengki Yaluwo dan Melkior Okaibob (Pemohon) menghadirkan Mompang Lycurgus sebagai ahli yang memberikan keterangan berkenaan dengan status terpidana Petrus dalam perspektif hukum pidana.

Example 300x600

Dalam keterangannya, Mompang menjelaskan bahwa terdapat 3 poin dalam prinsip yang ada di dalam Pasal 7 ayat (2) butir g UU 10/2016 dalam kaitannya dengan hukum pidana, yaitu: tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang inkrahct karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 tahun, kecuali terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa; bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang inkrahct dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

BACA JUGA: Pascakejadian Pembunuhan di Getentiri, Polres Boven Digoel Tarik Barang Jarahan

Selain itu, Mompang juga menjelaskan bahwa Pihak yang bertanggung jawab secara pidana apabila SKCK dan/atau Surat Keterangan Tidak Pernah dipidana dari Pengadilan Negeri tidak benar.

Bahkan menurutnya, mantan terpidana di bawah 5 tahun saat mengisi formulir permohonan SKCK dengan membuat pernyataan tertulis bahwa dirinya tidak pernah dipidana telah melakukan perbuatan tercela.

“Sejatinya sudah terjadi di situ adanya tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana sudah saya kutip tadi Pasal 263 KUHP demikian juga Pasal 266 KUHP apabila memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik,” ujar Mompang.

Pihak Pemohon menghadirkan Mompang Lycurgus sebagai Ahli Pihak Pemohon untuk memberi Keterangan dalam sidang Perkara Nomor 260/PHPU.BUP-XXIII/2025 Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Bupati Kab. Boven Digoel Tahun 2024, di Ruang Sidang Gedung II MK. Kamis (13/2/2025). (Dok. Mahkamah Konstitusi)

Kemudian, Mompang juga menjelaskan berkenaan dengan penggunaan surat yang isinya tidak benar selama bertahun-tahun berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Belanda.

Menurutnya, menggunakan surat yang dipalsukan atau yang dibuat secara palsu seolah-olah surat tersebut merupakan surat yang asli dan tidak dipalsukan dapat dianggap sebagai perbuatan pemalsuan surat menurut Arrest Hooge Raad tanggal 9 Februari 1914.

Selain itu, berdasarkan Arrest Hooge Raad tanggal 14 Januari 1914 dinyatakan bahwa jika pemakai telah menggunakan surat tersebut untuk memperdaya orang lain, terhadap orang mana ia telah bermaksud menggunakan surat yang bersangkutan, juga termasuk dalam katagori memalsukan sepucuk surat atau membuat suatu surat secara palsu atau dapat dipandang telah digunakan sebagai sepucuk surat.

BACA JUGA: Pilgub Papua Selatan: Cagub Apolo Safanpo adalah OAP

Perbedaan Pidana Militer dan Sipil

KPU Kabupaten Boven Digoel selaku Termohon menghadirkan Feri Amsari sebagai ahli yang memberikan keterangan berkenaan dengan dalil Pemohon perihal status terpidana Petrus.

Dalam keterangannya, Feri menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara pidana militer dengan pidana sipil karena tidak semua tindakan yang dianggap pidana militer merupakan perbuatan pidana bagi sipil.

“Bagaimanapun, militer dan sipil berbeda sehingga apa yang terjadi dalam pidana militer yang memiliki perbedaan mendasar karena objek hukumnya berbeda maka terhadap subjek hukumnya harus pula diberlakukan berbeda. Terutama pada ranah yang berbeda, misalnya ranah politik,” ujar Feri.

Selain itu, Feri juga menjelaskan bahwa hukum pidana militer berperan penting dalam menjaga disiplin, keamanan, dan etika di lingkungan angkatan bersenjata, sehingga seseorang bisa saja dihukum pidana militer karena bicara perlindungan nilai di dalam ruang kedisiplinan angkatan bersenjata. Namun, apa yang dianggap pidana tersebut menurut Feri belum tentu merupakan pidana di ruang sipil.

“Jadi, itu soal ruang yang berbeda dengan ruang apa yang terjadi di ruang sipil,” ujar Feri.

BACA JUGA: Mayat Pria Ditemukan di Jalan Ternyata Sekuriti di Kantor MRPS

Kemudian, Feri merujuk pada Putusan MK Nomor 27/PUU-V/2007 dalam memberi keterangan berkenaan dengan status terpidana Petrus tersebut ketika masih menjadi militer.

Pada pokoknya, Mahkamah menurut Feri dalam putusan tersebut mendepankan prinsip “untuk hal yang sama tidak boleh dibedakan, untuk yang berbeda tidak boleh disamakan.”

Dalam konteks pidana sipil dan militer, Feri menegaskan bahwa sipil dan militer berbeda sehingga harusnya sanksi-sanksi yang terdapat dalam ruang sipil tidak pula terdampak terhadap sanksi-sanksi yang ada di militer terutama khususnya untuk ruang-ruang kedisiplinan di milter.

“Hak politik mantan militer yang merupakan mantan terpidana hukum militer tidak seharusnya menjadi patokan untuk menghukum atau menghambat orang dalam karir politiknya setelah menjadi sipil,” ujar Feri.

Pihak Terkait menghadirkan Aswanto sebagai Ahli Pihak Terkait untuk memberi Keterangan dalam sidang Perkara Nomor 260/PHPU.BUP-XXIII/2025 Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Bupati Kab. Boven Digoel Tahun 2024, di Ruang Sidang Gedung II MK. Kamis (13/2/2025). (Dok. Mahkamah Konstitusi)

Lebih jauh, Feri menceritakan kisah Chabiras dan Leodamas sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Demosthenes pada 2400 tahun silam.

Dalam keterangannya, Feri menyebutkan bahwa Chabiras adalah mantan militer yang pernah melakukan kealpaan nilai dalam kedinasan militernya tetapi ia dicintai publiknya dan maju menjadi pejabat.

la terpilih dalam jabatan publik karena kemasyhuran namanya. Namun ada Leodamas, seorang politisi yang begitu pendukung oligarki dan tidak menyukai kemenangan Chabrias.

Leodamas lalu mencari kealpaan lawan saing politiknya tersebut di masa lalu dan dia menemukan ada morality value yang terlanggar oleh Chabiras dan itu digadang-gadangkan sebagai kealpaan yang harusnya membuat jabatan administrasi publiknya dihilangkan.

“Kisah Chabiras ini terulang di berbagai peristiwa politik dimana sering kali kealpaan tertentu menjadi sandaran untuk menghilangkan hak-hak para pihak,” ujar Feri.

Dikurung Bukan Dipenjara

Pasangan Calon Nomor Urut 3 Petrus Ricolombus Omba dan Marlinus selaku Pihak Terkait menghadirkan Aswanto sebagai ahli untuk memberikan keterangan berkenaan dengan status terpidana Petrus tersebut.

BACA JUGA: Kayu Gaharu Merauke Berhasil Diamankan Karantina Papua Selatan, Ini Modusnya!

Dalam keterangannya, Aswanto menuturkan bahwa tidak terdapat relevansi untuk mendiskusikan ihwal surat palsu sebagaimana didalilkan oleh Pemohon berkenaan dengan keterangan Petrus yang tidak pernah dipenjara. Hal ini dikarenakan Petrus hanya dikurung bukan dipenjara.

“Dalam pengisian formulir persyaratan yang dilakukan oleh Pihak Terkait kita bisa lihat di POM-nya, di POM-nya itu ditulis pernah dipenjara ngga? Kalo dia ga’ contreng pernah dipenjara, tidak salah karena dia tidak pernah dipenjara. Dia hanya dikurung,” ujar Aswanto.

Sebelumnya, Aswanto memberikan gambaran bahwa dalam konteks hukum pidana penjara dan kurungan itu berbeda.

Menurutnya, seseorang yang dihukum 1 tahun ke atas tergolong ke dalam pidana penjara, sementara seseorang yang dihukum kurang dari 1 tahun tergolong ke dalam pidana kurungan.

Hal ini dilakukan karena terdapat keterkaitan dengan persoalan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan pengisian formulir-formulir administrasi. Pasalnya, standar yang digunakan adalah bukan pidana kurungan tapi pidana penjara.

“Kalau ada seseorang yang dihukum di bawah 1 tahun dia tidak wajib mengisi POM yang menentukan apakah dia narapidana atau bukan, kecuali di POM itu ditulis penjara/kurungan,” ujar Aswanto.

Lebih lanjut, Aswanto menuturkan bahwa perkara tersebut tidak ada yang perlu diperdebatkan karena dalam Pasal 7 ayat (2) UU 10/2016, persyaratannya sudah menentukan adalah mereka yang dihukum karena melakukan tindak pidana yang ancaman pidananya adalah 5 tahun ke atas.

Apa yang dilakukan oleh Pihak Terkait menurut Aswanto dalam hal ini adalah tindakan disersi dalam konteks sipil.

“Kita tidak bisa mentolerir kalo dia disersi dalam keadaan perang karena itu menyangkut keselamatan bangsa. Tapi kalo disersi dalam keadaan damai ya menurut saya mestinya diberi apresiasi karena itu bisa mengurangi belanja negara,” ujar Aswanto.

Terlebih, menurut Aswanto yang menyebabkan Petrus dikurung bukan tindak pidana sebagaimana yang diamanatkan di dalam Pasal 7 ayat (2) UU 10/2016 yang kemudian bisa dilihat juga di dalam Putusan MK.

Artinya, dalam perspektif hukum pidana sangat clear tidak ada yang perlu diperdebatkan apalagi mengatakan bahwa terdapat dugaan menggunakan dokumen palsu.

“Tidak ada dokumen palsu yang digunakan justru dokumen yang sesuai dengan aturan. Palsu malah kalo dia mengatakan pernah dipenjara karena melakukan tindak pidana yang diancam 5 tahun ke atas. Ancaman pidana yang dilakukan perbuatan disersi oleh yang bersangkutan ancaman pidananya adalah 2 tahun 8 bulan,” ujar Aswanto.

Oleh karena itu, Aswanto menyebutkan bahwa tidak terdapat urgensi untuk memperdebatkan persyaratan Pasal 7 ayat (2) huruf g dan i UU 10/2016 tentang perbuatan tercela.

Hal ini dikarenakan prinsip dasar mengenai apa yang diinginkan atau apa yang dituangkan dalam pasal tersebut tidak terpenuhi atau tidak sesuai dengan maksud yang terkandung di dalam Pasal 7 ayat 2 UU 10/2016 yaitu ancaman pidana 5 tahun ke atas. (*)

Sumber: mkri.id

Anda bisa mengikuti Instagram nabirenews.com di: nabirenews_official

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *