Wamena – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak dapat menerima permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua Pegunungan Tahun 2024 yang diajukan oleh Pasangan Calon Nomor Urut 2 Befa Yigibalom dan Natan Pahabol.
Putusan Nomor 293/PHPU.GUB-XXIII/2025 ini ini dibacakan pada Senin (24/2/2025) di Ruang Sidang Pleno Gedung 1, MK.
“Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ucap Ketua MK Suhartoyo dalam persidangan dengan didampingi delapan hakim konstitusi.
BACA JUGA: PHPU Papua Pegunungan di MK, Ada Kesaksian Soal Manipulasi Suara Pilgub
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur, Mahkamah berpendapat bahwa seluruh dalil-dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Baik dalil Pemohon perihal suara bulat dan sepihak hanya diperuntukkan kepada Pasangan Nomor 1 atas nama John Tabo dan Ones Pahabol selaku Pihak Terkait, di Kabupaten Tolikara; dan dalil intimidasi dan penghadangan massa di Kabupaten Yahukimo; maupun dalil pengalihan suara Pemohon di Kabupaten Lanny Jaya.
“Mahkamah berpendapat dalil-dalil permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” ucap Ridwan.
Dalam konteks dalil suara bulat dan sepihak di Kabupaten Tolikara tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa dalam suatu pemilihan tidak menutup kemungkinan suatu masyarakat secara mayoritas akan memilih salah satu kandidat.
Pasalnya, Mahkamah menemukan fakta bahwa di wilayah Provinsi Papua Pegunungan di Kabupaten Tolikara dalam Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2024 hanya ada 12 TPS yang sudah menggunakan model pemilihan nasional (one man one vote) yaitu terdiri dari 2 TPS di Kampung Ampera, Distrik Karubaga; 1 TPS di Kampung Ebenhaiser, Distrik Karubaga; 6 TPS di Kampung Karubaga, Distrik Karubaga; dan 3 TPS di Kampung Kogimagi, Distrik Karubaga.
BACA JUGA: Sidang Pembuktian Sengketa Pilgub Papua Pegunungan Hari Ini, Jhon Tabo: Jangan Terprovokasi
Meskipun demikian, menurut Mahkamah dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Pegunungan Tahun 2024 pada 12 TPS di Distrik Karubaga yang sudah menggunakan sistem nasional tersebut, terjadi perolehan suara secara keseluruhan (100 persen) oleh 1 Pasangan Calon, padahal di saat bersamaan pada 12 TPS tersebut perolehan suara untuk Pilbup tersebar kepada 4 Pasangan Calon yang berkontestasi.
“Fakta demikian menegaskan bahwa pilihan masyarakat di suatu wilayah terhadap kandidat pemilihan kepala daerah tidaklah terpengaruh oleh bagaimana model pemilihan yang digunakan dalam wilayah tersebut, dalam hal ini pilihan menggunakan model noken ataupun model one man one vote, karena model pemilihan noken tersebut merupakan bagian dari kearifan lokal masyarakat di Papua Pegunungan,” ujar Ridwan.
BACA JUGA: Pilgub Papua Pegunungan, Bawaslu Tolikara: Tak Ada Masalah
Sementara itu, dalam konteks intimidasi dan penghadangan massa di Kabupaten Yahukimo, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon tidak dapat membuktikan dalil tersebut. Terlebih, Pemohon tidak menghadirkan saksi dalam sidang pembuktian lanjutan untuk membuktikan adanya intimidasi di Kabupaten Yahukimo tersebut.
“Pemohon tidak dapat meyakinkan Mahkamah perihal dugaan adanya intimidasi dan penghadangan massa tersebut serta kaitannya dengan perolehan suara Pemohon di Kabupaten Yahukimo,” ucap Ridwan.
Adapun berkenaan dengan dalil mengenai pengalihan suara Pemohon pada 15 distrik di Kabupaten Lanny Jaya, Mahkamah berpendapat bahwa dalil tersebut tidak beralasan menurut hukum.
Hal ini dikarenakan Bawaslu Provinsi Papua Pegunungan telah melakukan kajian awal dan kemudian mengeluarkan status laporan yang pada pokoknya laporan berkenaan dengan dalil tersebut dinyatakan tidak memenuhi syarat dikarenakan laporan tidak mencantumkan secara jelas tanggal kejadian yang dilaporkan dan laporan sudah melewati batas waktu.
Tidak Memiliki Kedudukan Hukum
Oleh karena seluruh dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum, Mahkamah akhirnya mempertimbangkan kembali kedudukan hukum Pemohon kaitannya dengan Pasal 158 ayat (1) UU 10/2016.
Menurut Mahkamah sebagaimana yang diucapkan oleh Ridwan, meskipun terhadap perkara tersebut Mahkamah telah mengesampingkan/menunda pemberlakuan ketentuan Pasal 158 ayat (1) UU 10/2016 dengan melakukan sidang pemeriksaan persidangan lanjutan dengan agenda pemeriksaan pembuktian, sikap Mahkamah mengesampingkan/menunda keberlakuan ketentuan Pasal 158 ayat (1) UU 10/2016 tersebut disebabkan oleh adanya dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan tidak dilaksanakannya pemilihan (baik model noken maupun model one man one vote) pada beberapa distrik di Provinsi Papua Pegunungan. Namun telah ternyata dalil tersebut dan dalil lainnya adalah tidak beralasan menurut hukum.
BACA JUGA: Resmi Dilantik, Senantor Asal Papua Pegunungan Minta Bupati dan Wakil Bupati Rangkul Semua Pihak
Kemudian, Mahkamah kembali mempertimbangkan perolehan suara Pemohon sebesar 564.280 suara vs perolehan suara Pihak Terkait sebesar 720.925 suara.
Menurut Mahkamah, perbedaan perolehan suara antara Pihak Terkait dan Pemohon adalah 720.925 atau setara dengan 12,19 persen.
Sehingga, Mahkamah berpendapat Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum karena tidak memenuhi ketentuan pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1) huruf a UU 10/2016.
“Mahkamah berpendapat, meskipun Pemohon adalah Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Pegunungan Tahun 2024, namun Pemohon tidak memenuhi ketentuan pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1) huruf a UU 10/2016,” tegas Ridwan. (*)
Sumber: mkri.id