Wamena | Di balik dinginnya kabut pagi yang menyelimuti Lembah Baliem, berdirilah Wamena, kota yang menjadi denyut nadi kehidupan di pegunungan tengah Papua. Namun, tak banyak yang tahu bahwa nama “Wamena” menyimpan makna yang unik dan menyentuh: “babi jinak”.
Dalam bahasa Dani—bahasa asli masyarakat Lembah Baliem—kata “Wam” berarti babi, dan “Mena” berarti jinak. Dua kata sederhana yang bila digabungkan menjadi identitas kota ini.
Babi bagi masyarakat Dani bukan sekadar hewan ternak. Ia adalah simbol kekayaan, kehormatan, bahkan cinta. Dalam upacara adat, kelahiran, hingga perdamaian, babi selalu hadir sebagai penanda nilai-nilai kehidupan.
“Bagi kami, babi adalah bagian dari keluarga. Makanya, Wamena itu lebih dari sekadar nama kota. Ia adalah pengingat tentang cara hidup kami,” ujar Yohanis Wetipo, tokoh adat setempat.
BACA JUGA: Belum Punya Kantor, Dimanakah Gubernur John Tabo Berkantor?
Wamena tidak hanya penting secara kultural, tetapi juga strategis. Terletak di ketinggian sekitar 1.600 meter di atas permukaan laut, kota ini menjadi satu-satunya pusat perkotaan besar di pegunungan Papua. Dari sinilah berbagai bantuan logistik, pendidikan, hingga layanan kesehatan didistribusikan ke desa-desa terpencil di sekitarnya.
@nabirenews2025_official Gubernur Papua Tengah, Meki Nawipa, mengumumkan rencana pembangunan monorel yang akan menghubungkan Kota Nabire dengan Bandara Douw Aturure #pemprovpapuatengah#papuatengah #nabire #monorel #mekinawipa #bp3okp #fyp #nabire_tiktok_comunity #gubernurpapuatengah #beritaviral#papua
♬ suara asli – nabirenews2025_official – nabirenews2025_official
Meski akses ke Wamena hanya bisa ditempuh melalui jalur udara, semangat masyarakatnya tak pernah surut. Jalanan kota dipenuhi aktivitas: pedagang menjajakan hasil bumi, anak-anak berjalan kaki ke sekolah, dan para mama Papua menjinjing noken berisi dagangan mereka.
BACA JUGA: Gubernur Papua Pegunungan Desak Pembagian DBH PT Freeport yang Merata
Tak hanya itu, Wamena juga menjadi tuan rumah dari Festival Budaya Lembah Baliem, sebuah perayaan tahunan yang mempertemukan beragam budaya dari seluruh penjuru Papua. Ribuan wisatawan datang untuk menyaksikan tarian perang, nyanyian tradisional, dan tentu saja—babi.
Kini, di tengah arus modernisasi, nama “babi jinak” itu tetap hidup. Ia tidak hanya menjadi nama sebuah kota, tapi juga menjadi simbol keteguhan, kehangatan, dan harmoni antara manusia dan alam. Di Wamena, “jinaknya” babi bukan sekadar sifat—tapi filosofi hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi. (*)