NabireNews.com | Dari Terowongan Silaturahmi hingga panggung Misa di GBK, Paus Fransiskus menorehkan pesan cinta, kerukunan, dan kepedulian lingkungan yang kini abadi dalam kenangan setelah kepergiannya pada 21 April 2025.
Pagi itu, langit Jakarta tampak cerah ketika pesawat Kepausan mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, 3 September 2024. Suasana di dalam dan luar negeri begitu hidup. Paus Fransiskus, pemimpin spiritual bagi lebih dari satu miliar umat Katolik di dunia, akhirnya menjejakkan kaki di bumi Indonesia—35 tahun setelah kunjungan terakhir seorang Paus ke negeri ini.
Tak ada kemewahan. Hanya senyum hangat dan pelukan kasih. Tapi dari langkah-langkah sederhana itu, lahirlah momen sejarah yang akan terus dikenang umat lintas agama di tanah air.
Di Istana Merdeka, Paus disambut Presiden Joko Widodo dan Presiden terpilih Prabowo Subianto. Sebuah pertemuan lintas generasi pemimpin.
BACA JUGA: Umat Katolik Berduka: Paus Fransiskus Meninggal Dunia Usai Paskah
“Indonesia adalah rumah besar bagi keragaman,” ujar Paus dalam pidatonya. “Dan keragaman bukan untuk ditakuti, tetapi dirayakan.”
Paus tak berbicara dari ketinggian. Ia hadir sebagai sahabat, sebagai tetamu yang ingin mendengar dan berdialog. Sikap inilah yang membuat setiap kehadirannya menyentuh hati, bahkan bagi mereka yang bukan Katolik.
Momen paling simbolik terjadi pada 5 September, saat Paus Fransiskus mengunjungi Terowongan Silaturahmi—lorong damai yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta. Ditemani para pemuka agama, ia menyusuri lorong itu sambil tersenyum dan bersyukur.
“Terowongan ini,” ucapnya, “adalah doa yang menjadi bentuk. Kita perlu lebih banyak ruang seperti ini di dunia.”
Hari itu, Jakarta menjadi panggung dunia. Di tengah perbedaan keyakinan, berdiri seorang Paus yang menyambut semua, bukan hanya umatnya.
6 September. Stadion Gelora Bung Karno menjadi samudra putih. Lebih dari 80 ribu umat Katolik dari seluruh penjuru negeri berkumpul dalam Misa Akbar bersama Paus Fransiskus. Tangis, sukacita, dan syukur menyatu dalam lantunan doa.
Dalam homilinya, Paus berkata:
“Tuhan hadir di tengah keberagaman. Kasih-Nya tak mengenal batas negara atau agama. Kita semua adalah saudara.”
BACA JUGA: Paus Fransiskus Wafat Akibat Pneumonia Ganda: Sebuah Kehilangan Besar dan Pelajaran Kesehatan
Hari itu juga, Paus menjadi tamu kehormatan dalam Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024. Ia menerima bibit pohon bakau dari anak-anak Indonesia. Simbol dari komitmen ekologis yang tak pernah ia tinggalkan.
“Merawat bumi adalah bentuk doa,” katanya. “Setiap tindakan kecil menyelamatkan masa depan.”
Kepergian Sang Gembala
Hari ini, 21 April 2025, dunia menangis. Paus Fransiskus wafat di usia 88 tahun di kediamannya di Vatikan, setelah berjuang melawan komplikasi pneumonia. Umat Katolik berduka. Dunia kehilangan sosok yang mengajarkan kasih sebagai jalan utama.
Di Indonesia, ucapan belasungkawa mengalir. Menteri Agama, Nasaruddin Umar, menyebutnya “sahabat sejati kerukunan”. PGI mengenangnya sebagai pemimpin yang “mengajarkan kemanusiaan dan cinta tak bersyarat.”
Namun di balik duka, tersimpan kenangan yang tak akan pudar: jejak damai yang beliau tinggalkan di tanah Indonesia.
Warisan yang Terus Hidup
Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia bukan sekadar agenda kenegaraan. Ia adalah ziarah hati, yang membangkitkan semangat persaudaraan lintas iman dan memperkuat panggilan untuk menjaga bumi.
Kini, setelah ia berpulang, pesan-pesan itu menjadi warisan. Bukan hanya bagi umat Katolik, tetapi untuk semua anak bangsa.
Karena dalam setiap kata dan langkahnya, Paus Fransiskus tak pernah berhenti mengingatkan:
“Kita semua adalah bagian dari keluarga besar ciptaan Tuhan.” (*)