Mulia | Di sebuah siang yang sejuk di Puncak Jaya, Papua, suara tawa anak-anak pecah di antara hamparan hijau perbukitan. Mereka berlarian, saling kejar, sementara dua sosok berbaju loreng — Baraka Iqbal Nuriman dan Baratu Ali Mustofa Sapumajat — membaur di tengah mereka, tanpa sekat, tanpa rasa takut.
Bukan senjata yang mereka bawa hari itu, melainkan senyuman dan pelukan hangat.
Pada Jumat (25/4/2025), dua personel Satgas Tindak Operasi Damai Cartenz ini datang bukan untuk operasi militer, melainkan untuk sebuah misi yang lebih mulia: membangun kepercayaan.
Di tengah berbagai tantangan yang menghiasi perjalanan damai Papua, momen kecil ini menyiratkan harapan besar — bahwa kedamaian dimulai dari hati yang disentuh dengan kasih.
BACA JUGA: Senyum Mama-mama Papua: Bripda Rafly Bagikan Payung di Pasar Mulia
Anak-anak yang awalnya malu-malu, perlahan mendekat. Mereka menyambut Baraka dan Ali dengan mata berbinar, tangan-tangan kecil terulur, menggenggam erat seragam yang sebelumnya mereka pandang penuh jarak.
Tak butuh waktu lama, candaan dan permainan sederhana mengubah suasana menjadi akrab — seolah luka dan ketakutan yang lama mengakar, sirna untuk sejenak.
“Kami terus dorong pendekatan humanis dalam setiap kegiatan operasional di lapangan. Anak-anak adalah masa depan Papua,” ujar Kaops Damai Cartenz 2025, Brigjen Pol. Faizal Ramadhani dalam pernyataannya.
Lebih dari sekadar kegiatan sosial, kehadiran Baraka dan Ali hari itu menjadi simbol: bahwa kepercayaan bisa dibangun, bahwa aparat bisa menjadi sahabat. Kegiatan ini juga menjadi bagian dari strategi jangka panjang Satgas Tindak Ops Damai Cartenz untuk mewujudkan sinergi erat antara masyarakat dan aparat keamanan.
BACA JUGA: Satgas Berhasil Evakuasi Korban KKB di Yahukimo, Tokoh Kamoro: Ini Tugas Kemanusiaan
Kasatgas Humas Ops Damai Cartenz 2025, Kombes Pol. Yusuf Sutejo menambahkan pesan penting kepada seluruh warga, “Kami berharap masyarakat terus mendukung upaya damai. Kolaborasi dan komunikasi yang baik antara warga dan aparat akan mempercepat terciptanya kedamaian di tanah Papua.”
Dan di hari itu, di Puncak Jaya yang sering kali diberitakan dengan nada kelam, lahir sebuah cerita yang lain: tentang tangan-tangan kecil yang percaya, tentang tawa yang menyatukan, tentang harapan yang diam-diam tumbuh di antara perbukitan.
Sebab sesungguhnya, damai bukan hanya tentang perjanjian di meja, tapi tentang keberanian untuk saling mendekat — satu pelukan, satu senyuman, satu anak-anak Papua yang hari ini merasa aman di pelukan bangsanya sendiri. (*)