Pegunungan Bintang | Kabut pagi masih menyelimuti lembah dan pegunungan saat Spei Yan Bidana berjalan keluar dari rumah dinasnya di Oksibil. Di hadapannya, terbentang alam Pegunungan Bintang yang megah, seolah menyimpan rahasia dan harapan ribuan tahun masyarakat adat yang mendiami tanah tinggi itu.
Tapi bagi Spei, pria kelahiran Batom ini, Pegunungan Bintang bukan hanya tentang keindahan alam. Ini adalah tentang sebuah perjuangan panjang: memerdekakan wilayahnya dari keterpinggiran melalui pembentukan Provinsi Papua Timur.
Jejak Luka dan Asa dari Tanah Pegubin
Kabupaten Pegunungan Bintang, atau Pegubin, adalah salah satu wilayah paling terisolir di Papua. Dengan luas wilayah lebih dari 15 ribu kilometer persegi, 34 distrik dan 277 kampung, daerah ini menyimpan kekayaan budaya, potensi alam, dan harapan yang besar—namun selama ini selalu berada di pinggiran perhatian pemerintah.
BACA JUGA: OPM Jadikan Ladang Ganja di Pegubin Sebagai Sumber Dana, Satgas Yonif 512/QY Musnahkan
“Waktu kami masih di bawah Kabupaten Jayawijaya, kami paling tertinggal. Pembangunan tidak pernah sampai. Itu luka sejarah yang sampai hari ini masih kami rasakan,” kata Spei dalam keterangannya.
Itulah sebabnya, begitu menjadi bupati, Spei tak hanya berpikir soal membangun jalan atau kantor. Ia berpikir jauh ke depan. Ia ingin Pegubin naik kelas—bukan hanya sebagai kabupaten maju, tapi sebagai motor penggerak provinsi baru: Papua Timur.
Tiga Anak Kandung Menuju Provinsi
Gagasan besar Spei bukan tanpa rencana. Ia telah menyiapkan tiga “anak kandung” baru dari Pegubin yang akan menjadi fondasi Provinsi Papua Timur. Ketiganya adalah Kabupaten Ketengban dengan ibu kota Teiraplu, Kabupaten Okmin Papua dengan Kiwirok sebagai pusatnya, dan Kabupaten Okmin Papua Selatan yang beribu kota di Iwur.
“Usulan pemekaran ini bukan hanya di atas kertas. Dokumennya sudah kami serahkan ke DPD RI sejak April 2023. Semua berbasis kajian ilmiah dan aspirasi masyarakat,” jelasnya.
BACA JUGA: OPM Ingin Papua Merdeka, Kemenham: Itu Bukan Cerminan Aspirasi Masyarakat
Spei menyadari, memperjuangkan daerah otonomi baru bukan perkara mudah. Terlebih lagi, moratorium pemekaran yang diberlakukan pemerintah sejak 2014 membuat gerak DOB seakan tersandera. Namun Papua, dengan kekhususan otonomi khususnya, masih punya celah untuk bermimpi lebih besar.
Perbatasan yang Terlupakan, Kini Jadi Harapan
Salah satu alasan kuat Spei menggagas Papua Timur adalah posisi strategis Pegubin yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini (PNG). Bukan sekadar wilayah geografis, tetapi juga hubungan kultural. Sebagian besar masyarakat di perbatasan adalah suku Ok dan Min, yang hidup di dua sisi negara tapi berasal dari akar budaya yang sama.
@nabirenews2025_official GenIUS Expo 2025 GenIUS Expo kali ini mengadakan GenIUS Award yang berisi kompetisi Esai dan Orasi. GenIUS Expo Awards kali ini mengusung tema “Masa depan Pendidikan dan Peluang Indonesia Timur” #sekolah #sekolahgenius #geniusaward #geniusexpo #geniusexpo2025 #kompetisisiswa #siswaunggul #sekolahunggul #sekolahunggulan #papua #papuatiktok #papuapride #papuahits #fypシ゚viral🖤tiktok #fypage #fypシ゚ #fyppppppppppppppppppppppp #fypp #fypdong
♬ suara asli – nabirenews2025_official – nabirenews2025_official
“Kami tidak hanya berbagi batas, tapi juga darah dan bahasa. Karena itu, kami bangun Universitas Okmin Papua, dan tahun lalu sudah ada 30 mahasiswa dari PNG kuliah di sini. Tahun ini akan bertambah jadi 70,” katanya bangga.
Spei juga sedang menyiapkan Festival Budaya Okmekmin 2026, sebuah perayaan lintas batas yang akan menghadirkan komunitas budaya dari dua negara. Ia yakin, kerja sama budaya dan pendidikan bisa menjadi jalan pembuka pertumbuhan ekonomi dan perdamaian kawasan.
Kekayaan Alam yang Masih Tersimpan
Di balik puncak-puncak Pegubin, tersembunyi kandungan emas dan minyak yang belum pernah disentuh. Spei menyebut sejumlah daerah seperti Bime, Bome, Teiraplu, Oksamol, dan Pepera yang diyakini menyimpan emas dalam jumlah besar. Sementara di Distrik Iwur, Cekungan Kawor menyimpan cadangan minyak yang belum dieksplorasi.
“Potensinya besar. Tapi kami belum izinkan eksplorasi karena kami ingin pengelolaan yang adil dan tidak merusak lingkungan. Kami belum buka pintu, bahkan untuk pertambangan rakyat,” tegas alumni Teknik Sipil UGM ini.
Bagi Spei, pemekaran wilayah bukan ambisi politik. Ia menegaskan, ini adalah soal memperpendek jarak pelayanan publik, soal membangun sekolah lebih dekat, rumah sakit lebih mudah dijangkau, dan jaringan jalan yang menyambungkan kampung ke kampung.
“Kalau Provinsi Papua Timur terbentuk, kami bisa lebih mandiri dan cepat dalam menjawab kebutuhan rakyat. Ini soal keadilan pembangunan,” katanya.
Kajian BRIN dan Harapan ke Senayan
Upaya Spei bukan tanpa dukungan ilmiah. Tim dari BRIN yang dipimpin Prof. Yohanes Sardjono telah melakukan kajian mendalam dan FGD langsung ke lapangan. Mereka menjaring suara rakyat dari Teiraplu hingga Iwur.
Kini, Spei hanya punya satu harapan besar: agar Provinsi Papua Timur masuk dalam Prolegnas dan disahkan oleh DPR RI.
“Papua tidak boleh terus menjadi halaman belakang republik. Lewat Papua Timur, kami ingin buktikan bahwa dari pegunungan tinggi dan perbatasan yang sepi, bisa lahir provinsi yang maju, kuat, dan berwibawa,” pungkasnya. (*)