NabireNews.com | Di jantung tanah Papua Tengah, dua kabupaten muda berdiri berdampingan: Dogiyai dan Deiyai. Sekilas, keduanya tampak serupa. Sama-sama lahir dari rahim pemekaran Kabupaten Nabire dan Paniai.
Sama-sama mendiami dataran tinggi Pegunungan Tengah. Sama-sama dihuni oleh suku Mee. Namun ketika kaki melangkah lebih jauh, terlihat jelas: Dogiyai dan Deiyai adalah dua wajah berbeda dari satu keluarga besar Papua.
Antara Deru Jalan dan Aksara yang Tumbuh
Pagi di Kigamani, ibukota Dogiyai, terasa riuh. Anak-anak berseragam sekolah berjalan beriringan menyusuri jalan tanah yang mulai diperkeras. Di pasar lokal, ibu-ibu menjajakan ubi, kopi, dan sayuran hasil kebun dengan harga yang bersahabat. Di kantor distrik, rapat pembangunan sedang berlangsung membahas jalan alternatif ke Mapia dan Sukikai.
BACA JUGA: Nabire dan Paniai: Dua Wajah Papua Tengah, Satu Jiwa Berbeda
Dogiyai berdiri sebagai kabupaten sejak 2007. Sebuah keputusan yang membawa harapan: pendidikan, infrastruktur, dan pelayanan publik akan lebih dekat dan berpihak. Kini, dengan akses jalan yang semakin terbuka dari arah Nabire, Dogiyai tumbuh sebagai salah satu jalur utama ke pedalaman Papua Tengah. Jalan tanah merah yang dulu hanya bisa dilewati dengan motor trail kini mulai disulap menjadi jalur penghubung antardistrik yang strategis.
Tapi Dogiyai bukan hanya soal pembangunan fisik. Di balik itu, ada semangat pendidikan yang menyala. Program sekolah minggu berbasis budaya, komunitas literasi lokal, dan usaha anak muda mendokumentasikan sejarah kampung menjadi denyut baru yang memberi Dogiyai identitasnya sendiri.
@nabirenews2025_official Gubernur Papua Tengah, Meki Nawipa, mengumumkan rencana pembangunan monorel yang akan menghubungkan Kota Nabire dengan Bandara Douw Aturure #pemprovpapuatengah#papuatengah #nabire #monorel #mekinawipa #bp3okp #fyp #nabire_tiktok_comunity #gubernurpapuatengah #beritaviral#papua
♬ suara asli – nabirenews2025_official – nabirenews2025_official
Sunyi Danau, Suara Adat
Sementara itu, perjalanan ke Tigi, ibukota Deiyai, membawa suasana berbeda. Setelah menempuh jalur dari Enarotali, tibalah kita di wilayah yang tenang, berselimut kabut dan menyimpan keindahan alami luar biasa: Danau Tigi. Di sini, alam dan budaya hidup berdampingan dalam harmoni yang dalam.
Deiyai, lahir setahun setelah Dogiyai, tepatnya pada 2008, memiliki wajah yang lebih tenang. Pembangunan berjalan, namun tidak seramai tetangganya. Warga menggantungkan hidup dari perikanan dan pertanian skala rumah tangga. Danau bukan sekadar sumber air, tetapi juga ruang spiritual. Banyak kisah lahir dari sini: legenda asal-usul, tradisi upacara, hingga pertemuan adat lintas klan.
BACA JUGA: Ilaga dan Mulia: Dua Nama, Dua Dunia di Punggung Pegunungan Papua
Yang membedakan Deiyai dari Dogiyai bukan hanya geografisnya, tapi juga karakternya. Jika Dogiyai adalah kabupaten yang dinamis dan terbuka karena jalur Nabire, maka Deiyai lebih menjaga dirinya, menata wilayah dengan tempo pelan tapi pasti. “Kami tidak ingin hanya membangun jalan, kami ingin membangun manusia,” ujar seorang tokoh adat di Tigi dengan tenang.
Budaya Mee: Jembatan yang Menghubungkan
Keduanya—Dogiyai dan Deiyai—dipersatukan oleh akar budaya yang sama: suku Mee. Namun, bahkan dalam kesamaan itu, terdapat warna-warni lokal yang unik. Dialek, struktur klan, hingga cara pelaksanaan bakar batu memiliki ciri khas tersendiri di tiap kabupaten.
Anak muda di Dogiyai mulai aktif menggunakan media sosial untuk menyuarakan identitas Mee modern. Di Deiyai, komunitas seni dan adat lebih menekankan konservasi budaya dan bahasa lokal. Perbedaan ini bukan jurang, melainkan kekayaan.
BACA JUGA: Ini Jumlah Pemekaran Kabupaten yang Diminta Gubernur Meki Saat Temui Komisi II DPR RI
Dua Kabupaten, Satu Asa
Melihat Dogiyai dan Deiyai adalah melihat dua jalan berbeda menuju masa depan Papua Tengah. Dogiyai memilih langkah cepat dan menyatu dengan arus pembangunan. Deiyai memilih tenang, menjaga nilai dan alam yang menjadi fondasi hidup masyarakatnya.
Namun satu hal yang pasti, keduanya bergerak dari kesadaran bahwa otonomi dan pemekaran bukanlah akhir, tapi awal dari perjuangan panjang menuju kesejahteraan dan martabat masyarakat Papua. (*)