Jakarta | Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) asal Papua Tengah, Eka Kristina Yeimo, melontarkan kritik tajam terhadap pemerintah pusat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Dirjen Anggaran, Dirjen Perimbangan Keuangan, dan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) di Senayan, Rabu (7/5/2025).
Rapat tersebut membahas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), khususnya terkait transparansi dan distribusi Dana Bagi Hasil (DBH) kepada daerah penghasil seperti Papua.
Eka menyoroti ketidakjelasan kontribusi yang diberikan oleh PT Freeport Indonesia serta ketimpangan akut dalam pembagian DBH ke Papua. Ia menilai bahwa data nominal yang menjadi hak publik tidak pernah dibuka secara terbuka, padahal pemerintah kerap menyebut persentase pembagian 80 persen untuk daerah dan 20 persen untuk pusat.
BACA JUGA: Gubernur Papua Pegunungan Desak Pembagian DBH PT Freeport yang Merata
“Kami hanya disuguhi angka persentase, tapi nominal riilnya tidak pernah dibuka. Katanya Rp5 sampai Rp6 triliun, tapi tidak ada laporan resmi yang bisa diakses publik. Papua punya hak untuk tahu! Ini menyangkut prinsip transparansi dan akuntabilitas fiskal,” tegas Eka dalam pernyataannya.
Menurutnya, ketertutupan informasi ini menunjukkan lemahnya akuntabilitas fiskal nasional dan membuktikan bahwa prinsip keadilan distributif belum dijalankan secara menyeluruh. Ia juga mengkritik label 3T—Tertinggal, Terbelakang, Termiskin—yang masih dilekatkan pada Papua, padahal provinsi ini merupakan salah satu lumbung kekayaan alam terbesar di Indonesia.
@nabirenews2025_official Gubernur Papua Tengah, Meki Nawipa, mengumumkan rencana pembangunan monorel yang akan menghubungkan Kota Nabire dengan Bandara Douw Aturure #pemprovpapuatengah#papuatengah #nabire #monorel #mekinawipa #bp3okp #fyp #nabire_tiktok_comunity #gubernurpapuatengah #beritaviral#papua
♬ suara asli – nabirenews2025_official – nabirenews2025_official
“Sudah hampir 80 tahun Indonesia merdeka, tapi Papua tetap disebut daerah 3T. Ini bukan sekadar narasi, tapi bentuk ketidakadilan struktural. Kami ini penyangga ekonomi nasional, tapi hidup dalam ketimpangan,” ujarnya dengan nada kritis.
Eka juga menegaskan bahwa keterlambatan pencairan DBH dari pemerintah pusat berdampak langsung pada stagnasi pembangunan di Papua. Ia menyebut kondisi ini sebagai bukti kegagalan intervensi fiskal dalam memperkecil ketimpangan antarwilayah di Indonesia.
“Jika Pemda salah kelola, saya tidak segan menegur. Tapi kalau pusat yang lalai atau bahkan menahan hak kami, saya akan bicara lantang. Fungsi DPD adalah pengawasan dan pembelaan terhadap hak-hak daerah, dan saya berdiri di sini untuk itu,” tegasnya.
BACA JUGA: Freeport Setor Rp7,73 Triliun, Papua Tengah Terima Rp4,63 Triliun
Lebih jauh, Eka menyuarakan kekhawatiran bahwa kontribusi besar Papua terhadap PNBP justru digunakan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur di daerah lain yang lebih cepat menyerap anggaran. Sementara Papua terus berada di pinggiran distribusi fiskal nasional.
“Jika Papua dianggap beban, padahal faktanya kami adalah kontributor utama PNBP nasional, maka kita patut bertanya: untuk siapa sesungguhnya Indonesia ini dibangun? Jika pemerintah pusat tidak mampu membiayai pembangunan Papua secara adil, katakanlah dengan jujur!” kritik Eka.
Desak Pemerintah Buka Data PNBP dan Libatkan Daerah
Eka menegaskan bahwa masyarakat Papua tidak menuntut perlakuan istimewa, melainkan menuntut keadilan fiskal dan hak yang setara sebagai bagian dari Republik Indonesia. Ia mendesak pemerintah pusat untuk segera:
- Membuka secara publik data nominal kontribusi PNBP Freeport dan DBH untuk Papua;
- Melibatkan pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan fiskal nasional;
- Menjamin pencairan dana yang adil, tepat waktu, dan proporsional.
“Keadilan fiskal bukan sekadar perhitungan angka-angka. Ia adalah perwujudan dari pengakuan terhadap hak konstitusional daerah, kedaulatan sumber daya, dan legitimasi pembangunan yang partisipatif serta inklusif,” pungkas Eka. (*)